Senin, 20 Juli 2015

sastra jendra




 

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Uraian singkat tentang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ini berdasarkan Buku Tripama Watak Satrio dan Sastra Jendra karya Ir. Sri Mulyono.
Secara harfiah Sastra Jendra berasal dari kata sastra yang berarti tulis, ilmu atau kitab. Sedangkan jendra berarti milik raja atau Gusti Hayuningrat berarti keselamatan umat dan dunia semesta. Sastra jendra dalam dunia pewayangan dikenal diajarkan oleh begawan Wisrawa dan juga diajarkan oleh Bima dalam lakon Bima Suci atau Nawaruci atau Sena Rodra juga dikenal dengan lakon Bima Paksa.
Sastra jendra ini tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang dan cara mengajarkannya harus pada tempat yang khusus, tidak boleh dihadiri oleh wanita dan bahkan tidak boleh didengar oleh seekor binatang pun (kutu-kutu, walang, ataga), karena sifatnya sangat rahasia. Orang harus mencarinya sendiri dan jika tidak waspada atau super hati-hati akan berakibat sangat fatal, kalau manusia yang mendengarkan dapat menjadi raksasa dan bersifat sangat angkara murka, kalau binatang yang mendengar dan mengerti sastra jendra dapat berinkarnasi menjadi manusia dalam kehidupan yang akan datang.
Ketika Batara Guru mendengar bahwa Begawan Wisrawa akan mengajarkan dan menyebarluaskan Ilmu Sastra Jendra Layuningrat itu dan mengingat sifat kerahasiaannya itu, Batara Guru sangat marah dan segera mengeluarkan surat kuasa/surat perjalanan ke Areapada kepada isterinya, Betari Durga. Tugas utama Betari Durga adalah untuk menyusup (manjing) keraga Dewi Sukesi untuk menggagalkan rencana Wisrawa sehingga Resi Wisrawa runtuh imannya sewaktu melihat kecantikan Dewi Sukesi justru calon menantunya sehingga ia berbalik haluan sangat Kasmaran dan mengawininya sendiri. Dengan tidak tahu malu Resi Wisrawa melampiaskan nafsu angkara dan birahinya yang berakibat Dewi Sukesi hanggarbini (hamil). Di kemudian hari lahirlah anak-anaknya yaitu Rahwana, Kumbakarna, Sarpakanaka dan si bungsu rupawan Gunawan Wibisana.
Yang menjadi tanda tanya mengapa Batara Guru dan para dewa mengajarkan dan menyebarluaskan ilmu sastra jendra itu. Hal ini karena para dewa takut kalau ada manusia dan binatang tahu dan memahami ilmu tersebut dikhawatirkan tidak akan mempercayai dan mengakui lagi dewa-dewa tersebut. Para dewa dalam sidang paripurna secara bulat sepakat untuk merintangi dan melarang usaha penyebarluasan ilmu sastra jendra tersebut.
Dari uraian tersebut tersirat makna bahwa terdapat suatu usaha melalui wayang untuk menolak ajaran atau ilmu lain kecuali ilmu yang diajarkan oleh dewa-dewa. Menurut para ahli Barat ada yang berpendapat bahwa sastra jendra itu adalah Al Quran dan Injil atau kitab suci dari agama atau kepercayaan lain.
Sementara orang beranggapan bahwa Resi Wisrawa sebenarnya belum menguasai betul tilmu Sastra Jendra itu. Tingkatannya masih dalam perjalanan atau proses dalam meraih ilmu sehingga dalam kenyataannya ia tergelincir dalam nafsu yang dilambangkan dengan Dewi Sukesi. Konon syarat utama yang mutlak harus ditempuh bagi manusia yang ingin mencapai ilmu sastra jendra harus mampu menahan diri, atau mampu mengendalikan hawa nafsu, yaitu haru mampu menahan atau menyingkirkan nafsu angkata, nafsu perut, dan nafsu kelamin (cegah dahar lan guling) dengan jalan berpuasa.
Nafsu angkara dalam pewayangan dilambangkan dengan Raksasa, sedangkan nafsu guling dilambangkan dengan wanita. Resi Wisrawa pada waktu itu baru berhasil menyingkirkan nafsu perut (aluamah) dan nafsu amarah yang dilambangkan bahwa Resi Wisrawa berhasil membunuh secara sadis dan memotong-motong badan Raksasa Jambumangil, yaitu saudara misan Dewi Sukesi. Karena tindakan Resi Wisrawa itu maka hukum karma menimpa anaknya Kumbakarna. Kematian Kumbakarna dalam keadaan mengenaskan/mengerikan dalam perang Kera dan Ceritera Ramayana. Kematiannya dimulai dari telinga putus, tangan putus, kaki satu-persatu putus dan akhirnya lehernya terpisah dari badannya (gembung). Ini hukum karma tetapi sekaligus melambangkan keberhasilan Resi Wisrawa dalam menumpas/membunuh nafsu angkaranya, biarpun akhirnya ia tergelincir dalam nafsu kelamin dan dalam lembah kenistaan (ia melahirkan Rahwana atau Dasamuka yang melambangkan sepuluh nafsu angkara berasal dari lima nafsu Wusrawa dan lima Sukesi, yaitu amarah, mutmainah, supiah, aluaman dah mulhimah.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu menurut para ahli tidak pernah dimuat dalam Kepusatakaan Jawa Kuna, tetapi dikenal pada abad IXI (1820) pada karya Kiyai Yasadipura dan Kiyai Sindusastra dalam Lakon Arjuna Wijaya atau Lokapala (dikutip dalam Kitab Arjuna Wijaya) dalam pupuh Sinom yang menyatakan:
Kejawi saking punika ngungun kawula dene ta boten kadasa putra tuan nini putri, sinten ta sing marahi. Penedahanira pinku. Sastra Jendra Yu ningrat menangka wadining bumi pan sinengker dening hyang Jagat Pratingkah.
Tan kening singa ngucapa siniku ing bataradi senagyan para pandita, kang samya mandireng wukir awis ingkang ngarawuhi yen dede pandita pinunjul, kuala matur prasaja mring paduka yayi aji, kang tineda ing nini punika.
Sastra Jendra Yu Ningrat, pangruwating barang sakalir ingkang kawruh tan wonten malih wus kawengku sastradi pungkas pungkasaning kawruh ditya diyu rakseksa myong sato siningwanadri lamun weruh artine kang Sastra Jendra. Rinuwai dening Batara sampurna patine reki atmane wor lan manungsa, manungsa kang wis linuwih yen manungsa udani, wong lan dewa patinipun jawata kang minulya.
Terjemahan bebas kurang lebih sebagai berikut:
Selain dari itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak wanita saya ini, yaitu barang siapa dapat memenuhi permintaannya untuk menjabarkan Sastra Jendra Yu Ningrat sebagai rahasia dunia (esoteris) yang dirahasiakan oleh Sanghyang Jagat Pratingkah.
Dimana tidak boleh seorang pun mengucapkannya, karena akan mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pendita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pendita yang mempuni. Saya akan berkata terus terang kepada dinda Prabu apa yang terjadai permintaan putri paduka.
Adapun yang disebut Sastra Jendra Yu Ningrat adalah pengruwat segala sesuatu yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, sudah tercakup dalam suatu kitab suci (ilmu luhur)= sastradi. Sastra Jendra itu juga merupakan akhir dari segala pengetahuan, segala pengetahuan Raksasa dan Diyu bahkan juga binatang yang berada di hutan belantara sekalipun, kalau mengetahui arti dar Sastra Jendra.
Akan diruwat oleh Batara matinya (nanti) akan menjadi sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang linuwih (mumpuni), sedangkan kalau yang mengetahui Sastra Jendra nyawanya akan berkumpul dengan Dewata yang mulia.
Jelaslah kiranya bahwa arti Sastra Jendra itu adalah suatu ujung dari segala akhir ilmu atau pepuntoning laku, atau akhir dari penjelmaan hidup. Sedangkan menurut Wedatama, Sastra Jendra merupakan ilmu Kasampurnaan atau Ilmu Luhur. Sastradi Ilmu Rahasia, Ilmu Mukswa, Ilmu Kasunyatan, Ilmu sejati ma’rifat, Nawaruci, Tatwa Jnana, yaitu suatu ilmu tentang esensi daripada wujud atau ilmu kalam dan disebut juga Ilmu Theologi.










KISAH DEWA RUCI
Cerita tentang AJARAN DEWA RUCI KEPADA ARYA WREKUDARA/ARYA SENA/BIMA ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta), yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta/Solo, Yosodipuro
berjudul:"SERAT DEWARUCI KIDUNG" yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

Seperti apa kisahnya, maka kami informasikan intisarinya yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan nama negeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa di negeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan Guru Durna. Sena yang adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,maka diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena yang telah yakin tidak mungkin teritipu dan dibunuh oleh anjuran Gurunya, tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .......Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, Sena mendengar suara tak berwujud : "Wahai cucuku yang sedang bersedih,enkau mencari tidak menjumpai, engkau tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda yang kau cari itu, sungguh menderita dirimu". Diceritakan saat Sena sudah pasrah..... suara itu yang ternyata adalah dua dewa, Sang Hyang Endra dan Batara Bayu, yang memberitahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena,ternyata memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu dikatakan juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena di perintahkan agar kembali ke Astina.Perintah inipun dituruti lagi.........
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut....! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun lalu ia pergi lagi....., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada)
Sementara itu di Astina keluarga Sena ynag mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta. Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung.
Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
dewaruci1.jpg (12409 bytes)
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan".
"Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan
"Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:"Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab.
Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".
Sampai disini cerita singkat tentang Dewa Ruci.
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.
Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

 
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
 

dimana kamu berada

MELEPAS PRASANGKA DIRI
SEBAGAI TOKOH UTAMA
Spiritualitas itu bukanlah suatu perjalanan yang penuh drama dan menarik untuk diceritakan, yang menggambarkan titik gelap dalam hidup lalu menemukan titik terang.
Spiritualitas itu sesuatu yang sangat biasa, hal wajar dan sangat lumrah. Bahkan spiritualitas itu 'nothing special'.
Spiritualitas itu pada dasarnya adalah tentang kembali pada kesederhanaan hidup. Kesederhanaan dalam arti sekedar upaya pelepasan akan prasangka diri sebagai tokoh utama.


\



      
TENTANG
MENGOLAH RASA (OLAH ROSO) &
MENGOLAH BUDI (OLAH BUDI)
M: Guru, mengapa aku sulit menjalani hidup dengan ketulusan?
G: Ketulusan itu sulit bagi yang tidak punya rasa (roso). Bagi yang punya rasa, ketulusan itu justru memudahkan dan meringankan beban.
M: Apa itu rasa, Guru?
G: Rasa itu kepekaan bathin. Jika seseorang bisa merasakan penderitaan, maka dia akan mengendurkan penderitaan. Inilah yang membuat mengolah rasa dapat menjaga ketenteraman bathin.
M: Bagaimana dengan orang yang terlalu peka sehingga banyak hal selalu dipikirkan dan menyakiti hatinya?
G: Itu adalah kepekaan yang disertai kegelapan bathin, Anakku.
M: Apa yang membedakan antara kepekaan yang membawa kedamaian dengan kepekaan yang membawa penderitaan?
G: Kepekaan yang mendamaikan adalah yang disertai pengembangan budi. Mengolah rasa yang baik mesti menyertakan mengolah budi (olah budi).
M: Lalu, apa itu budi?
G: Budi adalah pengertian, Anakku. Mengolah rasa jika melibatkan pengertian maka kepekaan itu menjadi penerimaan dan penerimaan itu melegakan. Bathin yang lega (legowo=lego ing nyowo), itulah kebahagiaan


dan kedamaian.

BATHIN YANG TENTERAM
M: Apa itu hidup yang damai dan tenteram?
G: Hidup yang damai dan tenteram itu dicirikan dengan keadaan bathin yang tidak benci tapi juga tidak serakah.

TUBUH YANG JUJUR & BATHIN YANG TIDAK JUJUR

Tubuh itu selalu jujur. Lihatlah ketika mengalami ketidaknyamanan, tubuh menjadi tegang. Tubuh memiliki respon alami, memberi sinyal, memberi tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Berbeda dengan bathin. Bathin yang belum terlatih tidaklah jujur. Dia menyangkal keadaan, bahkan menganggapnya menyenangkan. Lihatlah ketika menyakiti orang lain. Atau ketika mencibir orang lain. Itu adalah ketegangan bathin yang dianggap sebagai kesenangan, bukan ketegangan lagi.
Orang yang tidak jujur itu juga tidak peka. Jika orang tidak bisa memahami ketegangan dan kesenangan adalah hal yang sama, maka dia akan mati rasa dan tidak mengindahkan sinyal tubuh.
Mengolah bathin itu diawali dengan menyadari (eling) keberadaan tubuh. Mengembangkan kepekaan akan keadaan tubuhnya lalu keadaan bathinnya.


 Jika kita hidupnya apa adanya, tidak dibuat-buat, tidak juga berusaha agar terlihat/nampak lebih unggul dibandingkan orang lain, entah dalam hal kekayaan, penampilan, atau juga kepandaian, janganlah khawatir diri kita akan terlihat bodoh dan serba kekurangan. Sesungguhnya, dalam kesederhanaan kita justru belajar untuk menerima keadaan diri kita. Ketenangan dan kedamaian dimulai dengan kesederhanaan ini. Tidaklah mungkin gaya hidup yang berlebihan akan menjadikan hidup kita lebih damai dan tenteram.



SEKUTU ATAU PESAING
Memikirkan diri (ego) agar lebih hebat, lebih sukses, lebih berwibawa, lebih ini dan itu dari pada orang lain, maka kita akan sulit untuk berempati dan penuh kebaikan pada orang lain. Selama ego masih menjadi pusat perhatian, maka hubungan dengan orang lain hanya ada dua, yaitu sekutu atau pesaing. Sekutu adalah yang bisa menopang/mendukung ego. Pesaing adalah yang menghalangi ego.
 

 Perilaku yang sengaja dibuat-buat agar berkesan dihadapan orang lain, itu justru menunjukkan bahwa betapa hidupnya penuh kegelisahan dan ketakutan. Semakin pembicaraannya melebihi orang lain, itu justru menunjukkan bahwa dirinya yang lebih butuh berbicara, bukan orang lain yang butuh informasi apa yang telah dikatakannya.


Reaksi yang emosional itu selalu merupakan reaksi pada persepsi tertentu. Artinya obyek dari reaksi adalah persepsi tentang obyek, bukan obyek apa adanya.
Kebencian & kemarahan tersulut karena permainan persepsi. Di sekitar kita banyak yg mengkondisikan kita melalui persepsi2 tertentu. Mudah sekali terjerumus pada persepsi yang membuat kita berreaksi terhadapnya. Mengenali keadaan apa adanya itu melampaui batas persepsi. Pengenalan diri itu juga mesti melampaui batas persepsi. Termasuk persepsi yg dibentuk oleh belief system. Melepas belenggu kemelekatan adalah melepas belenggu persepsi.


Dalam agama atau tradisi tentu di dalamnya tentu ada humanisme. Humanisme itu universal. Namun harus diingat, tradisi agama itu ada / dibuat pd zaman dulu, pd waktu struktur masyarakat belum sekompleks sekarang. Jadi tingkah laku/perbuatan baik mesti dibawa dalam konteks kekinian. Dalam hal ini humanisme yang muncul pd zaman modern justru bisa menjadi 'sparing partner' utk berdialog. Humanisme dan agama bisa saling melengkapi dan membuat spiritualitas menjadi berwarna, bahkan melampaui bentuknya dan menjadi bentuk yang baru.
Dalam buku 'Sebelum segalanya terlambat' karya Aurelio Peccei & Daisaku Ikeda, dijelaskan / disinggung ttg spiritualitas yang memperhatikan sisi kemanusiaan termasuk lingkungan. Dalam buku itu disinggung bahwa perkembangan teknologi & pertumbuhan ekonomi dibangun dg memperhatikan sisi lahiriah dan mengabaikan hal2 mendasar yaitu dorongan setiap tindakan.


KEINDAHAN YANG DI DALAM
Kehidupan orang lain mungkin nampak begitu berwarna dan begitu indahnya. Tapi percayalah, dibalik warna itu ada dunia yang sama & tidaklah berbeda yang juga sedang kau alami.
Keindahan luar itu hanya sudut pandang saja. Seperti seorang model yang nampak indah dan begitu artistik oleh karena kepandaian Sang Fotografer. Keindahan seperti itu selalu ada bagian jelek yang disembunyikan.
Jika kau mengerti, maka kau tidak akan lagi banyak menghabiskan waktu pada keindahan yang diluar itu. Keindahan yang didalam, itulah yang paling sejati. Tiada seorang fotografer pun yang mampu menangkap keindahan yang di dalam itu.
 
ZEN CORNER:
SIMPLE WISDOM
Hidup itu tidaklah linier, tidak berupa perjalanan yang lurus menuju ke suatu tempat lalu selesai dan tercapailah tujuan.
Sering diilustrasikan seperti lingkaran yang tak terputus. Selalu berulang. Bangun pagi, mandi, sarapan, pergi bekerja, lalu pulang kerja, tidur, dan seterusnya. Tidak linier melainkan berulang. Demikian juga dalam retret, bangun pagi, meditasi pagi, siang, malam, lalu tidur dan seterusnya.
Dalam siklus berulang, tidak ada upaya yang berakhir tapi berulang. Kebahagiaan dan kedamaian bukan diujung perjalanan, tapi di setiap langkah perjalanan. Metodenya adalah justru dengan melepas adanya asumsi/anggapan bahwa kebahagiaan itu diujung perjalanan.
Ilustrasi lingkaran dalam kaligrafi Zen mengingatkan agar melepas asumsi linier ini. Dalam kedamaian dan kebahagiaan, tidak ada upaya pencapaian. Inilah simple wisdom. Menjaga bathin tetap sederhana (simple), tidak terusik pada kompleksitas. Siklus berulang berarti memang tidak pernah berujung. Pengakuan diri akan siklus tak berujung, maka bathin akan melepas.
Dalam tradisi India, siklus ini disebut samsara. Dalam Jawa di sebut cokro manggilingan, roda yang selalu berputar. Dalam memahami ilustrasi Zen ini, kita akan paham bahwa itu semua tentang psikologi diri. Saya menyebutnya psikologi samsara.

MASIH TENTANG KETULUSAN
Seringkali orang berharap kebahagiaan. Kadang tidak melakukan apa-apa tapi ingin bahagia. Atau berusaha melakukan perbuatan baik lalu kelak mendapat upah kebahagiaan. Namun sesungguhnya kebahagiaan itu bukanlah upah. Kebahagiaan itu adalah apa yang kita lakukan. Jika apa yang diperbuat menyertakan ketulusan, maka itulah kebahagiaan.

DUA TAHAPAN BERSYUKUR
Bersyukur ada dua jenis. Masing-masing memiliki pengertian dan pendekatan yang berbeda.
Pertama, bersyukur pada kekuatan ilahi atas apapun yang dialami. Kekuatan ilahi ini bisa dipahami berasal dari Tuhan, Dewa, atau sosok ilahi tertentu, yang mengatur kehidupan. Bersyukur pada jenis ini memposisikan diri sebagai obyek. Apa yang dialami dianggap sebagai hadiah atau hukuman dari kekuatan ilahi.
Kedua, adalah bersyukur atas keadaan apa adanya. Bersyukur pada jenis ini memposisikan diri sebagai subyek. Karena pengertian seperti ini maka lebih sering digunakan kata 'melepas' dari pada 'bersyukur' itu sendiri. Apa yang dialami dianggap sebagai konsekuensi logis dari pikiran, ucapan dan perbuatannya yang pernah dilakukan. Tidak ada hadiah atau hukuman, yang ada hanya konsekuensi.
Umumnya, orang memahami dua pendekatan di atas bertentangan. Dianggap dua hal yang bukan searah. Belakangan saya memahaminya justru searah. Searah dalam arti, dua hal tersebut merupakan tahapan.
Tahapan pertama adalah memakai bahasa mitologis. Kekuatan ilahi yang dipersonifikasi dalam wujud tertentu, itu adalah tentang kekuatan alam, hukum alam, atau sifat dari alam itu sendiri.
Mitologi dibutuhkan bagi mereka yang belum siap berlatih kesadaran. Mereka cenderung memahami mitologi secara hurufiah dan belum bisa menangkap makna simbolik dibaliknya. Akibatnya kebahagiaan dianggap hal luar yang suatu saat akan diterimanya. Bagi mereka yang sudah siap, maka mereka akan memasuki tahapan berikutnya.
Pada tahap berikutnya yang semula diri hanya menjadi obyek akan berubah menjadi subyek. Inilah transformasi diri. Hidupnya tidak lagi mengejar hadiah dan menolak/menghindari hukuman. Hadiah dan hukuman, adalah simbol keadaan yang selalu naik dan turun. Naik turunnya kehidupan seperti ini adalah hal yang alami karena itu harus diterima apa adanya. Melepas kemelekatan adalah jalan menuju kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan. Kebahagiaan itu dari dalam, diwujudkan lewat kebijaksanaan.



 


ARTI SIMBOLIK
AVALOKITESVARA & MANJUSRI
(Kasih sayang & Kebijaksanaan)
Dari mana muncul kebaikan dan kasih sayang?
Ketika orang bekerja untuk mencapai sesuatu, tentu ada ketegangan yang terlibat. Sungguhlah wajar. Namun jika ketegangan ini berkelanjutan dan menjadi tak terkendali, maka kita akan menderita. Ketegangan inilah yang membentuk karakter diri yang sempit dan hanya mau memikirkan diri sendiri.
Umumnya ketegangan dialihkan dengan aktivitas populer entah dengan tujuan bersenang-senang, refreshing atau sekedar mengisi waktu.
Namun ada satu kebutuhan mendasar ketika mengalami ketegangan, yaitu pelepasan. Pelepasan adalah kelegaan, kelapangan dada untuk menjalani proses kehidupan tanpa terbebani oleh masa lalu atau juga masa depan yang diharapkan datang.
Melepas ketegangan berbeda dengan bersenang-senang. Melepas itu membutuhkan mawas diri. Mawas diri yang diarahkan pada pengertian. Pengertian inilah yang membuat ketegangan mencair dan itu ditandai dengan semakin hangatnya kebaikan hati.
Lalu, apa itu kasih sayang?
Kasih sayang adalah bentuk ekspresi dari kebaikan hati. Kebaikan dan kasih sayang dibangun oleh dasar yang sama yaitu pengertian.
Pengertian ini disebut juga sebagai kebijaksanaan. Dilambangkan dalam sosok Manjusri yang membawa pedang kebijaksanaan. Pedang ini mampu memotong delusi atau ketidaktahuan. Sebenarnya tidak ada orang yang jahat, yang ada hanya orang yang menderita. Hidupnya terlalu banyak didera oleh ketegangan bathin, dan itu disebabkan oleh ketidaktahuan. Pengertian akan hidup perlu ditumbuhkan agar hangatnya kebaikan hadir kembali dan menjadi penuntun hidup.
Bentuk ekspresi dari kebaikan yaitu kasih sayang, itu disimbolkan dalam sosok Avalokitesvara. Kasih sayang bersifat aktif, bertindak dalam perbuatan dengan dasar cinta kasih.
Ada pararelisme dengan tradisi Jawa seperti ungkapan 'sepi ing pamrih, rame ing gawe'. Sepi ing pamrih adalah tentang pelepasan yang didasari oleh pengertian. Pengertianlah yang membuat ketulusan muncul. Sedangkan rame ing gawe adalah perbuatan yang aktif, melakukan hal terbaik demi orang lain. Ini adalah kasih sayang.


 
APA ITU KESABARAN?
Semakin besar ego kita, maka semakin sulit kita hidup damai dan tenteram. Karena semakin besar ego kita, maka kita semakin mudah tersakiti oleh keadaan.
Terutama ketika kita berhadapan dengan orang yang tidak kita sukai. Pada saat itu kita bisa menguji diri kita sendiri. Seperti apakah ego kita. Sejauh mana tingkat kesabaran kita.
Kesabaran itu ada dua macam. Yang pertama, Kesabaran luarnya saja. Ini adalah kesabaran yang hanya bertahan saja, karena didalamnya ego masih bertahan bahkan mungkin semakin besar. Kesabaran seperti ini sangat menderita.
Yang kedua, adalah kesabaran dari dalam. Disebut dari dalam karena diiringi mengurangi ego. Melepas kemelekatan menjadi bagian dari latihan kesabaran. Inilah kesabaran yang melibatkan kedamaian dan ketenangan


KESEMPURNAAN KASIH SAYANG
(MAHA KARUNA)
Ajaran Dharma sering diungkapkan dalam kisah / legenda. Kasih sayang yang sempurna sering disebut sebagai maha karuna.
Salah satu ikon yang sering digunakan adalah Bodhisatva Avalokitesvara. Dalam budaya tionghoa lebih dikenal sebagai Dewi Kuan Im. Avalokitesvara di India dan di nusantara diwujudkan dalam sosok laki-laki.
Kisahnya, Avalokitesvara akan mencapai nirvana. Dalam perjalanan, beliau melihat orang tua yang dikejar harimau. Orangtua tersebut akhirnya memanjat pohon dan untuk sementara terhindar dari kejaran harimau. Namun harimau lapar itu menunggu orang tersebut dibawah.
Avalokitesvara menuju kediaman Sang Buddha dan sudah tiba saatnya Avalokitesvara mencapai nirvana. Namun beliau teringat dengan keadaan orang tua yang akan dimangsa harimau. Avalokitesvara memutuskan untuk kembali pada dunia untuk menolong orang tua tersebut. Beliau juga berjanji untuk kembali ke dunia demi menolong semua mahkluk bebas dari penderitaan dan 'menunda' mencapai nirvana.
Nirvana itu adalah kebebasan atau bebas dari penderitaan. Ketika tidak mengejar nirvana, itu sebenarnya nirvana juga. Keinginan mencapai kebahagiaan justru akar masalah utama yang menyebabkan penderitaan. Melepas kebahagiaan maka kebahagiaan akan terwujud dengan sendirinya.
Kisah/legenda bodhisatva Avalokitesvara adalah penekanan bahwa nirvana bukanlah obyek keinginan. Selain itu, ini juga tentang kesempurnaan kasih sayang. Kasih sayang yang tanpa syarat membuat ego tidak ada tempat. Hilangnya ego berarti lenyapnya nafsu keinginan. Kasih sayang yang sempurna, itu juga salah satu dimensi dari nirvana.
Dalam bahasa modern, kasih sayang ini disebut sebagai kasih sayang altruistik. Altruistik maksudnya totalitas dalam mendedikasikan diri pada kebahagiaan mahkluk lain. Tidak terkecuali. Jadi tidak ada kebahagiaan dalam kebencian, tak terkecuali atas nama kejayaan agama. Kejayaan sejati hanya dilihat pada seberapa besar dalam melepaskan ego.
Metode latihan altruistik adalah salah satu latihan dasar dalam mahayana. Menurut sejarah Tibet, salah satu guru besar bernama Atisha pernah berguru ajaran ini di nusantara, tepatnya di Sriwijaya pada guru Serlingpa Dharmakirti.
Dalam vajrayana, latihan tantra tanpa dasar motivasi altruistik adalah sia-sia. Tumbuhnya semangat altruistiklah yang akan membawa pada kebijaksanaan tertinggi.


 

 
SIMBOL SUN GO KONG
Pada abad ke-6, Hsuan Tsang pergi ke India melalui jalan darat. Hidupnya didedikasikan utk membawa kitab dari India. Setelah kembali di Cina, beliau disambut oleh raja dinasti Tang. Hsuan Tsang banyak menghabiskan waktu utk menerjemahkan kitab tsb dlm bahasa Cina. Aliran filsafat yang lagi terkenal di India saat itu adalah yogacara. Dalam bahasa Inggris di terjemahkan sbg mind-only school. Aliran filsafat ini memahami bahwa segalanya adalah pikiran. Realita sejati bukan di luar sana tapi di dalam. Realita sejati yang tertutupi oleh bathin yang ilusif.
Pada zaman dinasti Ming (1368-1582), terkenal sastra berjudul "Xi-yu-chi" (Catatan Perjalanan ke Barat). Penulis sastra ini adalah Wu Ch'eng-en (1500 - 1582), seorang penulis novel dan puisi terkenal pada Dinasti Ming. Wu Ch'eng-en menuliskannya setelah terinspirasi cerita perjalanan Hsuan-tsang dari bukunya Ta-T'ang Hsi-yu-chi. Kisah cerita ini kemudian menjadi terkenal dengan legenda Kera Sakti Sun Wu-khung (Sun Go Kong atau Sun Hou-zi). Novel ini diterbitkan pertama kali pada 1592, 10 tahun setelah kematian Wu Ch'eng-en.
Aksara 'Barat' (Xi/Hsi) mirip lafal Xin/ Hsin yang berarti hati. Perjalanan ke Barat adalah simbol perjalanan ke dalam bathin.
Dari video klip singkat ini ada adegan Sun Go Kong yang masuk ke telapak tangan kanan Sang Buddha. Sun Go kong berusaha keluar dari tangan namun tidak bisa. Wu Cheng-En pandai sekali memainkan simbol aliran filsafat yogacara. Lima jari dalam tangan Buddha adalah nafsu pd lima indria yang didorong oleh pikiran yang penuh nafsu. Sun Go Kong adalah lambang pikiran yang liar. Dalam Zen juga ada istilah 'monkey mind'. Pikiran yang terperangkap oleh nafsu tidak akan pernah bebas.
Sun Go Kong di kurung dalam bukit lima jari. Artinya lima indria nya dikurung. Ini ttg tahap mengolah bathin. Ada saatnya ketika indria tenang, kebijaksanaan muncul. Hadirnya sosok Hsuan Tsang (Tong Sam Cong) adalah simbol kebijaksanaan yang akan hadir scr alami ketika indria tenang.
Filsafat seperti ini sebenarnya ada di Jawa. Karena di Jawa dulu juga populer ajaran yogacara sebagaimana yg termonumenkan pd candi borobudur. Neng-Ning-Nung. Meneng. Indria mesti diam dulu. Maka bathin akan Ning alias wening. Dari situ akan Nung alias Dhunung. Dhunung dalam hal ini adalah pemahaman/pengertian/kebijaksanaan.
Hsuan Tsang ke India belajar/studi di universitas Nalanda, pusat agama Buddha internasional ternama pd zaman itu. Dan salah satu donatur Nalanda adalah raja Sriwijaya. Sehingga jejak ajaran yogacara juga masuk di Jawa melalui Sumatera. Dan karakteristik tradisi Jawa dipengaruhi oleh ajaran ini.  



tanya jawab lagi

"Guru, bagaimana mesti menghadapi orang yang tidak pernah mau memahami kita dan hanya kita yang diminta memahaminya?"
"Manu, adalah sebuah pencapaian kecerdasan bila kau mampu memahami orang lain. Dan manakala kau mampu membuat orang lain memahamimu, maka itu pun adalah suatu keberhasilan dalam pelajaran berkomunikasi."
"Jadi, apa yang salah bila orang lain tidak memahamimu? Karena itu kesempatan bagimu untuk berlatih komunikasi, hingga orang tersebut bisa simpati bahkan empati padamu."





"Guru, betapa sulit menghilangkan stres dalam kehidupan ini. Semua stres itu kian membebani batinku. Adakah cara untuk membebaskan diri dari semua itu?"
"Manu, setiap sungai yang tidak mampu mengalirkan airnya dengan baik, akan mengijinkan lumpur dan sampah yang mengotorinya kian mengendap dan membebaninya. Kelak bila beban sumbatan itu tak tertahankan, maka akan menghancurkan dirinya."
"Begitu pun ia yang tak mudah mengalir dalam perjalanan suka duka kehidupannya, beban-beban batin akan kian menumpuk dan mudah menghancurkan keutuhan batinnya yang tenang dan damai."
"Maka belajarlah untuk mengalir bersama waktu, Manu. Bila tidak, maka waktu sendiri akan menyeretmu dalam ketersiksaan."




"Guru, kenapa kita perlu mengenal Tuhan dan ajaran agama lebih mendalam? Bukankah keyakinan hati padaNya dan pada kebenaran ajaran agama saja sudah cukup?"
"Manu, manusia diberkahi pikiran dan hati. Pikiran berguna untuk memahami secara mendalam dan hati berguna untuk memiliki keyakinan yang teguh."
"Keyakinan hati tanpa pemahaman pikiran, mudah menjerumuskan orang pada keyakinan membabi buta, karena gelapnya pikiran oleh ketidaktahuan."
"Sebaliknya, pemahaman pikiran tanpa disertai keyakinan hati akan menjadikanmu seseorang yang dipenuhi pengetahuan namun diliputi berbagai keraguan dalam melangkah."
"Jika kau diberkahi potensi untuk memiliki pengetahuan dan keyakinan, kenapa mesti berhenti pada satu pencapaian? Penuhilah keduanya agar pikiran dan hatimu tidak menjadi berkah yang sia-sia."



"Guru, betapa sulit rasanya melupakan kejadian buruk dan menyakitkan yang pernah datang dalam kehidupanku. Bagaimana aku harus menghadapi semua itu?"
"Manu, bagaimana kau bisa menghadapi apa yang sudah berlalu? Hanya yang ada di masa depanlah yang bisa kau hadapi. Sedangkan semua yang ada di masa lalu itu hanya gelombang listrik yang terkunci sebagai kenangan dalam pikiran."
"Malam akan berlalu digantikan oleh pagi dan siang. Lalu siang pun akan berlalu tergantikan oleh sore dan malam. Gelap dan terang akan selalu datang bergantian. Apa yang perlu kau rumitkan untuk semua yang akan datang dan pergi? Biarkan saja mereka mengalir memasuki dan pergi dari pikiranmu."



 Guru, jika Tuhan memang maha kuasa, kenapa aku tidak pernah melihat keindahan alam yang terjadi secara tiba-tiba dan bertahan lama. Sedangkan kehancuran dengan mudah diciptakan oleh semesta ini dan porak-poranda dalam waktu begitu lama."
"Manu, lewat semua itu alam sedang mengajarimu bahwa bahkan alam sekalipun akan memerlukan waktu dan proses panjang untuk mencapai keadaan yang indah dan baik. Sedangkan keadaan buruk dengan mudah bisa terjadi."
"Maka jika dalam kehidupanmu kau harus berjuang keras dan lama untuk mencapai harapan yang baik, itu bukanlah hal yang aneh. Sebaliknya itu memang proses alami."
"Bahwa perubahan ke arah buruk itu jauh lebih mudah dan perlu waktu singkat, itu bisa kau jadikan alasan untuk selalu waspada agar batinmu tidak mudah terpuruk saat terjadi keburukan yang tiba-tiba dalam hidupmu."




 Guru, tidak adakah berkah keajaiban dari semesta ini hingga dengan sekali jentik jari maka semua orang akan berubah menjadi baik?"
"Ada, Manu. Bahkan tanpa perlu menjentikkan jari pun kau sudah bisa mengubah orang menjadi baik. Kekuatan ajaib yang telah diberkahkan bagimu oleh semesta ini bukanlah jentikan jarimu, melainkan jentikkan pikiranmu."
"Maka jentiklah pikiranmu agar ia bisa melihat hal-hal baik pada diri setiap orang, pada sikap dan tindakan yang mereka lakukan. Jika kau bisa melakukan itu dan melihat kebaikan pada mereka, itu pertanda kau telah berhasil menggunakan keajaiban pikiran yang telah diberkahkan bagimu."
"Namun jangan lupa, setiap berkah keajaiban memiliki tanggungjawab dan risikonya."




"Guru, saat kita menghadapi masalah dalam kehidupan, ada yang menyarankan kita untuk lebih memilih mengadu pada Tuhan daripada kepada teman. Bukankah Tuhan tidak pernah memberi kita jawaban atau solusi, sedangkan teman bisa langsung memberi kita jalan keluar?"
"Manu, jika kau mengadukan masalahmu pada teman, mungkin saja mereka akan mengalirkan jawaban yang datang dari pikiran yang jernih atau dari hati nurani mereka yang bijak. Meski seringkali itu terasa bertentangan dengan apa yang sedang kau rasakan."
"Atau bisa jadi mereka malah memberikan jawaban dari bisikan ego dalam diri mereka, yang seringkali terasa menyetujui dan mendukung pembelaan egomu. Akibatnya masalah kian rumit untuk dipecahkan."
"Itu sebabnya kau mesti bijak menyikapi tuntunan solusi yang datang dari seorang teman. Semuanya kembali pada kebijaksanaanmu sendiri."
"Sedangkan jika kau mengadu pada Tuhan, maka kau bebas mengadukan apa pun, meski kau tidak akan mendengarNya berkata-kata padamu. Namun sadarilah, sesungguhnya diamNya itu adalah pesan agar setelah mengadu itu, kau kembali menggunakan senjata terbaik yang diberkahkanNya padamu, yaitu pikiran."
"Maka merenunglah. Gunakan pikiran, akal budi dan kecerdasamu untuk mengamati dengan tenang dan cermat pelajaran kehidupan yang sedang kau alami. Disitu kau akan tahu, bahwa jawaban ada di balik setiap pertanyaan. Jalan keluar ada di balik setiap pintu yang tertutup
 "Guru, kenapa orang-orang selalu menyakitiku, memfitnah bahkan memperlakukanku dengan sikap yang buruk?
Bagaimana agar mereka tidak lagi seperti itu padaku?"
"Manu, jika kau lebih suka menunjuk orang lain lebih dulu atas apa yang kau alami, dengan bertanya kenapa mereka memperlakukanmu seperti itu, dan bukannya bertanya kenapa kau diperlakukan demikian oleh mereka, maka kau akan mendorong pikiranmu untuk terus mencari penyebabnya pada diri mereka."
"Lalu lihatlah, kau pun akan menghabiskan energi untuk mencoba mencari jalan agar mereka mengubah sikap terhadapmu. Akhirnya kau kelelahan sendiri dan semakin tersakiti oleh kegagalanmu mengubah banyak orang."
"Tapi cobalah bertanya kenapa aku diperlakukan demikian oleh mereka. Maka kau akan didorong untuk mencari hal-hal dalam dirimu yang layak kau perbaiki agar mereka berubah sikap menjadi lebih baik padamu."
"Sesungguhnya, semua suka duka kehidupanmu berawal dari dirimu sendiri, Manu."



 Guru, kenapa begitu sulit untuk belajar mencapai keikhlasan hati saat menghadapi kenyataan hidup yang begitu pahit dan menyakitkan ini? Apalagi bila itu disebabkan oleh sikap atau tindakan orang lain?"
"Manu, jika keikhlasan hati dimiliki tanpa perlu proses pembelajaran yang serius, maka sia-sialah kehidupan ini ada sebagai ruang pembelajaran menerima pahala Karma masa lalu."
"Jika dengan mudah kau menerima dengan tenang rasa sakit yang disebabkan oleh orang lain, maka kau tidak akan mengerti seperti apa rasa sakit yang pernah kau sebabkan pada orang tersebut di masa lalu."
"Keikhlasan baru akan tercapai saat kau berhenti menyalahkan orang lain, berhenti menyalahkan diri sendiri, lalu belajar mencermati pembelajaran di balik semua peristiwa dan keadaan hidupmu yang pahit serta menyakitkan itu."




"Guru, kenapa kita diajarkan untuk selalu memancarkan sifat-sifat Jiwa dan berjalan dalam peran di kehidupan ini sesuai panggilan Jiwa?"
"Manu, radio yang tidak mampu menyiarkan siaran radio, maka alat itu mungkin rusak atau mati. Televisi yang tidak memancarkan siaran dari stasiun-stasiun yang ada, mungkin juga sedang rusak atau mati."
"Dan manusia yang tidak memancarkan sifat-sifat Jiwanya, tidak pula memancarkan sifat-sifat Ketuhanan dalam dirinya, keadaan mereka serupa dengan semua alat-alat itu, Manu."
"Itu sebabnya kau diajarkan untuk melakukan segala peranmu sepenuh Jiwa dan sejalan dengan sifat setiap Jiwa manusia yang sesungguhnya adalah sumber kebaikan di bumi in
 Guru, kenapa orang-orang lebih suka melihat dan menilai kesalahan, kelemahan dan kekuranganku? Bagaimana caraku membalas rasa sakit oleh sikap mereka itu?" "Manu, jika mereka suka melihat kesalahanmu, itu karena mereka dikirim alam untuk memacumu memperbaiki diri. Mereka suka melihat kelemahanmu agar kau terpacu untuk bangkit menguatkan diri. Dan mereka suka menunjukkan kekuranganmu agar kau bergegas melengkapinya dengan kelebihanmu."
"Maka cara terbaik untuk membalas kebaikan mereka yang tak kau sadari itu adalah memperbaiki diri, mengatasi kelemahanmu serta melengkapi kekuranganmu dengan banyak belajar lagi."
"Tak ada anak rusa yang tumbuh menjadi rusa dewasa bila tak pernah berhasil meloloskan diri saat dikejar oleh singa."






"Guru, ribuan tahun agama-agama telah mengajarkan bahwa Tuhan itu dimana-mana. Tapi tak seorang pun menjelaskan cara melihat-Nya dimana-mana. Lalu bagaimana caranya, Guru?"
"Manu, mereka yang tak pernah menyelami samudra atau mengetahui apa yang ada dalam samudra, hanya akan melihat hamparan air dan ombak pada samudra itu. Tapi ia yang pernah menyelaminya, akan mudah melihat dengan mata hatinya betapa keindahan samudra itu sungguh ada."
"Maka menyelamlah ke dalam samudra pengetahuan dalam dirimu sendiri. Saat kau melihat keindahan dan keajaiban bersemayam disana, kau akan melihat hal yang sama di luar dirimu."
"Melihat Tuhan dimana-mana tidak bisa kau lakukan dengan lebih dulu memakai mata inderamua. Lihatlah Tuhan dengan mata pengetahuan lebih dulu, baru dengan mata fisik. Setelah itu kau akan mengerti, kemana pun mata inderamu menatap, kau akan melihat-Nya disana dengan mata pengetahuanmu."




 Guru, bagaimana mungkin kita akan merasa lebih bahagia jika bisa membahagiakan orang lain lebih dahulu."
"Manu, lihatlah sekuntum bunga bertumbuh menjadi buah ranum yang dikagumi orang karena dengan harumnya ia pernah memanggil lebah dan kupu-kupu untuk dibahagiakan dengan nektarnya."
"Setelah menjadi buah, ia membahagiakan kelelawar dan burung-burung yang menikmati dagingnya. Dan lihatlah, kelelawar itu membawa bijinya pergi untuk tumbuh di tanah yang lain, hingga menjadi pohon yang berbuah lebih banyak lagi. Dan ia pun makin dikagumi karena limpahan buahnya."
"Itulah hukum alam, Manu. Kecerdasan Semesta Tak Terbatas sudah mengatur alam ini sedemikian sempurnanya."



 Guru, saat duka dan kesedihan datang dalam kehidupanku, betapa sulit rasanya melepaskan hal itu, apalagi dengan menangis, karena katanya tangis adalah simbol kelemahan Jiwa. Lalu apa yang harus kulakukan, Guru?" "Manu, tangis adalah ekspresi alami untuk melepas beban batin. Dengan air mata itu, Jiwa sedang mengingatkanmu untuk membersihkan mata hati, agar kau bisa segera memandang kejadian duka itu dengan lebih jernih hingga tampak makna positif di baliknya."
"Dan tangis bukanlah simbol kelemahan. Kekuatan hati seseorang bukan ditunjukkan oleh tangis yang disembunyikannya saat duka, melainkan seberapa cepat dia bangkit kembali saat duka itu menghampiri hidupnya."



 Guru, jika Tuhan memang maha mencipta, kenapa mesti diperlukan ratusan juta sel sperma dalam proses penciptaan bayi? Bukankah hanya perlu 1 sperma untuk membuahi sel telur hingga kelak menjadi janin? Kenapa Tuhan tidak menyiapkan satu sperma saja yang langsung bisa membuahi sel telur itu?"
"Manu, penciptaan mahluk hidup memerlukan energi dan energi harus bermanfaat untuk kerja. Dengan kerja itulah muncul usaha. Proses kelahiran manusia sejak awal adalah sebuah usaha yang tak kenal menyerah dari sebuah sel sperma."
"Sperma yang terkuat dan tiada kenal menyerah itu salah satunya kini menjadi dirimu. Itulah pesan semesta dalam proses kelahiranmu. Kau tercipta dari setitik kecil sperma yang gigih dan tiada kenal menyerah pada berbagai halangan."
"Kau adalah pemenang kecil itu, dan tetaplah menjadi pemenang atas rasa takut, putus asa dan ketidakberdayaanmu. Kau datang ke bumi ini sebagai benih pemenang, dan pulanglah kelak sebagai Jiwa pemenang atas segala penghalang dalam dirimu"
Keberadaan kita hidup di dunia ini tidak sendiri. Semenjak pertama kali kita diturunkan ke alam dunia lewat rahim ibu, Tuhan sudah menitahkan adanya penjaga-penjaga yang senantiasa mendampingi kita hidup di alam dunia. Dan sesuai dengan perintah Tuhan, para penjaga-penjaga itu dengan setia senantiasa berada di sekeliling kita.



Bagi orang Jawa, khususnya orang yang memahami tentang Kejawen, adanya para penjaga tersebut dikenal dengan sebutan “Sedulur Papat”. Siapa saja Sedulur Papat itu? Sedulur papat yang dikenal masyarakat yang memahami Kejawen adalah:
1. Kakang Kawah (Air Ketuban)
2. Adhi Ari-Ari (Ari-ari)
3. Getih (Darah)
4. Puser (Pusar)

Kakang Kawah
Yang disebut dengan Kakang Kawah adalah air ketuban yang menghantarkan kita lahir ke alam dunia ini dari rahim ibu. Seperti kita ketahui, sebelum bayi lahir, air ketuban akan keluar terlebih dahulu guna membuka jalan untuk lahirnya si jabang bayi ke dunia ini. Lantaran air ketuban (kawah) keluar terlebih dulu, maka masyarakat Kejawen menyebutnya Kakak/Kakang (saudara lebih tua) yang hingga kini dikenal dengan istilah Kakang Kawah.

Adhi Ari-Ari
Sedangkan yang disebut dengan adhi ari-ari adalah ari-ari jabang bayi itu sendiri. Urutan kelahiran jabang bayi adalah, air ketuban terlebih dulu, setelah itu jabang bayi yang keluar dan dilanjutkan dengan ari-ari. Karena ari-ari tersebut muncul setelah jabang bayi lahir, maka masyarakat Kejawen biasanya mengenal dengan sebutan Adhi/adik Ari-ari.

Getih
Getih memiliki arti darah. Dalam rahim ibu selain si jabang bayi dilindungi oleh air ketuban, ia juga dilindungi oleh darah. Dan darah tersebut juga mengalir dalam sekujur tubuh si jabang bayi yang akhirnya besar dan berwujud seperti kita ini.

Puser
Istilah Puser adalah sebutan untuk tali pusar yang menghubungkan antara seorang ibu dengan anak yang ada dalam rahimnya. Dengan adanya tali pusar tersebut, apa yang dimakan oleh sang ibu, maka anaknya pun juga ikut menikmati makanan tersebut dan disimpan di Ari-Ari. Disamping itu, pusar juga digunakan oleh si jabang bayi untuk bernapas. Oleh karena itu, hubungan antara ibu dengan anaknya pasti lebih erat lantaran terjadinya kerjasama yang rapi untuk meneruskan keturunan. Semuanya itu atas kehendak dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa.

Ketika seorang jabang bayi lahir ke dunia dari rahim ibu, maka semua unsur-unsur itu keluar dari tubuh si ibu. Unsur-unsur itulah yang oleh Gusti Allah ditakdirkan untuk menjaga setiap manusia yang ada di muka bumi ini. Maka bila masyarakat Kejawen hingga kini mengenal adanya doa yang menyebut saudara yang tak tampak mata itu secara lengkap yaitu
“KAKANG KAWAH, ADHI ARI-ARI, GETIH, PUSER, KALIMO PANCER”.
Pancer
Lalu siapakah yang disebut dengan istilah Pancer? Yang disebut dengan istilah Pancer itu adalah si jabang bayi itu sendiri. Artinya, sebagai jabang bayi yang berwujud manusia, maka dialah pancer dari semua ‘saudara-saudara’nya yang tak tampak itu.

Kesamaan Dengan Islam
Antara ajaran Kejawen dengan Islam ada kesamaannya. Dalam Islam disebutkan bahwa setiap manusia dijaga oleh malaikat-malaikat yang ditugaskan oleh Tuhan. Siapa saja malaikat-malaikat itu? Malaikat-malaikat yang ditugaskan oleh Gusti Allah untuk setiap manusia itu antara lain, Jibril, Mikail, Izroil dan Isrofil.

Nah, kesamaan antara ajaran Kejawen dan Islam tersebut yakni Kakang Kawah yang disebutkan sebagai pembuka jalan si jabang bayi, itu di Islam dianggap sama dengan Jibril (Penyampai Wahyu). Malaikat Jibril lah yang membuka jalan bagi keselamatan sang bayi hingga lahir ke dunia.

Sedangkan Adhi Ari-ari yang disebut-sebut di dalam ajaran Kejawen, di dalam Islam dianggap sama dengan Mikail (Pembagi Rezeki). Karena lewat Ari-Ari itulah si jabang bayi dapat hidup dengan sari-sari makanan yang didapatkan dari seorang ibu.

Sementara Getih (darah) , bagi orang Kejawen, pada pemahaman orang Islam dianggap sama dengan keberadaan malaikat Izroil (pencabut nyawa). Buktinya, jika tidak ada darahnya, apakah manusia bisa hidup?

Yang terakhir adalah Puser. Dalam pemahaman masyarakat Kejawen, Puser adalah sambungan tali udara (napas) antara sang ibu dengan anaknya. Nah, pada pemahaman Islam, Puser ini dianggap sama dengan Isrofil (Peniup Sangkakala). Meniup sangkakala menjelang kiamat Qubro (kiamat Besar) adalah dengan napas.

Oleh karena itu, kita wajib mengenali siapa penjaga-penjaga tak nampak yang sudah diperintahkan Gusti Allah untuk senantiasa mendampingi kita. Dengan kita mengenali keberadaan mereka, akhirnya mereka nantinya bisa mawujud (berwujud). Dan yang perlu diingat lagi, jika kita sudah melihat wujud mereka, maka hendaknya kita senantiasa memuji atas kebesaran Gusti Allah yang Maha Agung. Karena atas titah Gusti Allah-lah kita semua bisa hidup berdampingan dengan penjaga-penjaga yang disebut dengan Sedulur Papat, Kalimo Pancer.

Tanya Jawab Dengan Diri

Guru, kenapa begitu sulit menyembuhkan luka hati ini? Semua upaya menghibur diri seakan tidak berguna."
"Manu, bahkan luka di kulit tubuhmu tidak akan mudah sembuh jika tidak menjaga kebersihannya. Apalagi jika kau malah mengijinkan berbagai kotoran berkuman menempel padanya, maka dia menjadi luka yang kian sulit disembuhkan."
"Begitupun luka batin. Bila kau tidak menjaga kebersihan hatimu yang luka itu dari berbagai pikiran yang kotor oleh kegelapan ego negatif, apalagi mengijinkan berbagai virus akal budi memasuki batinmu, niscaya kian sulitlah ia tersembuhkan."
"Rasa sakit hati menghadirkan kemarahan, kemarahan menumbuhkan kebencian, kebencian menciptakan dendam, dan dendam akan memelihara rasa sakit itu di dalam."
"Lepaskan segala ingatan yang telah melukai batinmu, lalu masukkan pengetahuan tentang kebenaran Karma atas peristiwa menyakitkan yang telah kau alami, hingga kau bisa ikhlas menerima kejadian itu dan mengijinkan rasa sakit itu berlalu. Keikhlasan menerima dan melepas rasa sakit, memudahkan kesembuhan batin yang terluka, Manu.

Memahami Nyawa Shalat


Setiap yang hidup pasti mempunyai nyawa. Sesuatu tidak bisa dikatakan hidup jika tidak memiliki nyawa. Dalam Islam Kejawen juga diajarkan tentang nyawa, khususnya tentang doa. Pada sebuah doa, atau ketika melakukan shalat secara syariat, maka kita harus mengetahui nyawa sebuah shalat. Kalau kita tidak mengetahui nyawa sebuah shalat, maka tidak akan bisa mengetahui "ruh" dari shalat itu. Intinya, jika kita tidak mengetahui nyawa dan "ruh" shalat yang kita lakukan, maka shalat kita hanya sekedar gugur kewajiban semata.


"Tangeh lamun sira bisa ketemu GUSTI ALLAH, yen sira ora bisa mangerteni hakekate shalat," begitu pesan dari sesepuh kita dulu. Shalat itu menurut Islam Kejawen adalah senantiasa eling dan menyembah pada GUSTI ALLAH. Seperti sudah dijelaskan pada tulisan terdahulu bahwa ada 2 hakekat hidup di dunia yaitu
- Tansah eling lan manembah marang GUSTI ALLAH (shalat)
- Apik marang sak pada-padaning ngaurip (berbuat baik pada sesama makhluk)
Salah satu cara eling lan manembah marang GUSTI ALLAH itu jika dilakukan menurut syariat adalah dengan jalan melakukan shalat.

Banyak dari kita yang tidak tahu, dimanakah nyawa dalam sebuah shalat yang kita lakukan. Rata-rata orang yang beragama Islam hanya menjalankan shalat sebagai syarat saja. Artinya, sekedar gugur kewajiban. Padahal, jika mengetahui nyawa shalat itu sendiri, kita akan bisa berdialog dengan GUSTI ALLAH. Dimanakah nyawa syariat shalat yang dilakukan itu?

Jawabannya: nyawa shalat itu ada pada surat Al-Fatihah. Lho kok bisa? Ya sangat jelas sekali. Karena sebuah shalat yang kita lakukan tidak akan sah jika tidak membaca surat Al-Fatihah. Jadi, jika seseorang hanya mampu membaca surat Al-Fatihah saja, maka shalatnya sudah sah, tapi masih belum bisa berdialog dengan GUSTI ALLAH. Jadi, ketika shalat dan membaca surat Al-Fatihah, konsentrasi kita haruslah penuh untuk bisa berdialog dengan GUSTI ALLAH. Lain halnya dengan shalat dimana seseorang membaca surat Al-Fatihah dengan cepat, tentu saja tidak akan mampu untuk berdialog dengan GUSTI ALLAH.

Apa sih ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah itu? Tentu banyak dari kita yang sudah mengetahuinya. Surat Al-Fatihah tersebut antara lain berbunyi

Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin
Ar Rahmaani rrahiim
Maaliki yaumid diin
Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
Ihdinas shiraatal mustaqiim
Siraathal ladzii na’an ‘amta ‘alaihim,
ghairil maghduu bi’alaihim, walad dhaalliin


Terjemahannya
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang
Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Yang menguasai hari pembalasan/kiamat
Hanya padamu kami menyembah, dan hanya padamu kami memohon pertolongan
Tunjukkanlah kami Jalan yang Lurus
Jalan yang penuh nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan yang sesat.

Perhatikan dengan seksama, betapa hebat dan berbobotnya surat Al-Fatihah itu. Surat Al-Fatihah tersebut jika dibaca dengan konsentrasi pada GUSTI ALLAH akan sangat bermanfaat bagi yang membacanya, terserah apapun tujuannya. Tidak salah jika surat Al-Fatihah tersebut menjadi Ummul Kitab (surat pembuka Al'Quran).

Nyawa Surat Al-Fatihah

Seperti sudah disebutkan diatas bahwa tidak banyak orang yang tahu bahwa Al-Fatihah sebagai nyawa sebuah shalat, demikian juga tidak banyak orang yang tahu bahwa surat Al-Fatihah itu sendiri juga mempunyai nyawa di dalamnya. Jadi, bisa dikatakan nyawa sebuah shalat adalah Al-Fatihah, dan surat Al-Fatihah itu sendiri juga mempunyai nyawa ataupun "ruh".

Apa nyawa dari surat Al-Fatihah? Nyawa ataupun "ruh" dari surat Al-Fatihah itu adalah pada ayat yang berbunyi "Iyyaaka na’budu, wa iyyaaka nasta’iin". Mengapa ayat tersebut menjadi nyawa dari surat Al-Fatihah? Karena ayat tersebut merupakan perpisahan antara doa yang dipanjatkan pada GUSTI ALLAH dan doa untuk diri manusia itu sendiri yang menunjukkan kepasrahan kita sebagai makhluk.

Coba perhatikan surat Al-Fatihah beserta terjemahannya sekali lagi.

Bismillahirrahmaanirrahiim
(Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih & Penyayang) (Doa untuk ALLAH)
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin
(Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta) (Doa untuk ALLAH)
Ar Rahmaani rrahiim
(Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang) (Doa Untuk ALLah)
Maaliki yaumid diin
(Yang Menguasai hari pembalasan/kiamat) (Doa untuk ALLAH)
Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
(Hanya padaMU Kami Menyembah,dan hanya padaMU kami memohon pertolongan)(Doa Kepasrahan kita)
Ihdinas shiraatal mustaqiim
(Tunjukkanlah kami jalan yang lurus)(Doa untuk si manusia)
Siraathal ladzii na’an ‘amta ‘alaihim,
(Jalan yang penuh nikmat)(Doa untuk si manusia)
ghairil maghduu bi’alaihim, walad dhaalliin
(Bukan jalan orang yang Engkau Murkai dan bukan jalan yang sesat)(Doa untuk si manusia)

Nah, perhatikan doa tersebut. Dimanakah perpisahan antara doa untuk Allah dan doa untuk kepentingan si manusia itu sendiri? Perpisahan tersebut adalah pada "Iyyaaka na’budu, wa iyyaaka nasta’iin" yang menunjukkan bahwa manusia itu tidak mempunyai kekuatan apapun dan pasrah pada kuasa dari GUSTI ALLAH. Jadi, berkonsentrasilah ketika membaca perpisahan antara doa untuk ALLAH dan doa untuk kepentingan si manusia karena hal itu menunjukkan kepasrahan kita pada GUSTI KANG MURBEHING DUMADI.

Belajar Ilmu dari Alam


Disadari ataupun tidak, GUSTI ALLAH senantiasa memberikan banyak gambaran pada manusia lewat ciptaanNYA. Tetapi kebanyakan manusia ‘tidak berpikir’ sehingga keberadaan alam ciptaanNYA ini kelihatan biasa-biasa saja.


GUSTI ALLAH menjelaskan lewat kitab suci Al Qur’an yang intinya: “Berjalan-jalanlah kamu dimuka bumi. Maka kamu akan melihat kekuasaanKU”. Artinya, kita harus cerdas dan cermat dalam mengamati keberadaan alam semesta itu. Dengan begitu, kita akan bisa merasa dekat dengan GUSTI ALLAH.

Sebenarnya, sangat mudah untuk menikmati keindahan alam. Orang bisa meluangkan waktu dengan bertamasya, wisata ke pegunungan, pantai dan lain-lain. Dalam hal menikmati alam, pandangan antara anak kecil dan orangtua (sudah berumur) akan berbeda. Coba sesekali perhatikan anak kecil yang tengah berjalan-jalan dan tiba-tiba mereka melihat sungai yang airnya mengalir deras. Pasti, tanpa pikir panjang ia akan kepingin untuk mandi di kali itu.

Tapi berbeda dengan orangtua dalam menikmati alam. Para orangtua itu cenderung tidak melihat keindahan dari sungai itu. Yang indah bagi orangtua ataupun orang yang sudah dewasa adalah duit. Kemanapun mata memandang, yang dipikirkan hanyalah duit dan dunia. Padahal yang dilihat indah itu adalah fana dan bakal berubah. Itulah perbedaan antara anak kecil dan orang tua/dewasa dalam memandang keindahan alam.

Banyak sekali yang bisa kita pelajari dari alam. Kita bisa belajar tentang ilmu kesabaran, ilmu kesetiaan, ilmu kepasrahan, ilmu diam dan banyak ilmu lainnya. Lho kok bisa? Jelas sekali. Lihatlah buktinya.

Belajar Kesabaran
Kalau hendak belajar ilmu kesabaran, maka kita hendaknya belajar pada Bumi yang kita injak setiap harinya ini. Bayangkan, bumi ini tidak pernah mengeluh meskipun diinjak-injak ratusan juta manusia. Bumi juga tidak pernah tersinggung meskipun diludahi, dikencingi bahkan menjadi tempat buangan kotoran manusia. Ia akan dengan sabar menerima semuanya. Kesabaran apalagi yang bisa mengalahkan bumi ciptaan GUSTI ALLAH itu? Tapi kalau manusia berbuat semena-mena terhadap bumi, maka Sang PENCIPTA akan marah dan bumi bakal menggulung dan menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Contohnya, tanah longsor dan lainnya.

Belajar Kesetiaan
Jika hendak belajar ilmu kesetiaan, tidak ada salahnya kita belajar pada matahari. Belajar dalam hal ini bukan berarti menyembah matahari. Tidak! Tetapi kita cukup melihat, merasakan dan mencontoh kesetiaan matahari yang juga ciptaan GUSTI ALLAH. Matahari adalah tempat belajar ilmu kesetiaan karena ia dengan setia senantiasa hadir dari Timur dan terbenam di Barat setiap hari.
Matahari tidak pernah ingkar janji untuk tidak terbit. Ada orang yang guyon dengan mengatakan, lha kalau mendung bagaimana? Meski mendung, matahari tetap bersinar meski tertutup mendung. Bukankah ia terus setia?

Belajar Kepasrahan dan Nerimo (Ikhlas)
Jika Anda ingin belajar ilmu kepasrahan dan nerimo (ikhlas), maka tidak ada salahnya belajar pada laut. Laut yang diciptakan GUSTI ALLAH adalah tempat mengalirnya beribu-ribu sungai di dunia ini. Kotoran apapun yang dilemparkan manusia lewat sungai, pasti akan mengalir ke laut. Dan laut akan pasrah menerima barang-barang buangan itu. Ia tidak pernah mengeluh sedikitpun.
Laut juga akan ikhlas menerima semua air, kotoran atau benda-benda apapun yang mengalir lewat sungai. Keikhlasan yang ditunjukkan oleh laut adalah keikhlasan “Lillahi Ta’ala” (semuanya karena ALLAH).

Belajar Ilmu dari Tumbuhan
Kita juga harus belajar dari tumbuhan. Apa alasannya? Alasannya jelas, karena tumbuhan sejak dari bibit ia hidup, ia cenderung diam. Tapi tahu-tahu lama kelamaan tumbuhan itu menjadi besar dan memberi manfaat bagi si penanamnya. Bayangkan, sebuah tumbuhan saja tahu cara menghargai dan berterimakasih pada orang yang merawatnya. Sedangkan kita manusia ini yang disebut makhluk mulia oleh GUSTI ALLAH, malah tidak bisa menghargai dan berterimakasih pada GUSTI ALLAH yang telah merawat kita. Apa layak kita disebut sebagai manusia Rahmatan Lil-alamin (manusia yang menjadi rahmat bagi alam semesta)?

Kalau kita menghormati alam, berarti kita juga mensyukuri apa yang telah dianugerahkan GUSTI ALLAH. Bukan malah merusaknya

Nyalakan "Lampu" Hati

 


Hidup ini diciptakan oleh GUSTI ALLAH berpasang-pasangan. Ada siang-malam, lelaki-perempuan, orangtua-anak-anak, besar-kecil, tua-muda, baik-buruk, bahagia-sedih dan lain-lain. Semuanya itu merupakan pasang-pasangan yang sudah ditetapkan oleh GUSTI ALLAH. Jikalau hidup kita sedang mengalami kebahagiaan, janganlah lantas kita
bangga. Pasalnya, dibalik kebahagiaan itu pasti ada kesedihan. Tidak mungkin hidup seseorang di dunia ini bahagia selamanya karena kita semua hidup di alam fana (tidak abadi).

Demikian juga ketika kita sedang dilanda kesulitan hidup, janganlah berputus-asa. Karena dibalik kesulitan hidup itu pasti ada kemudahan. Sering kita mendengar orang bijak yang mengatakan,"Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya". Bahkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri lewat hadistnya pernah mengungkapkan beberapa hal penting. Apa itu?

1. Ingatlah sehat-mu sebelum sakit
2. Ingatlah muda sebelum tua
3. Ingatlah kaya sebelum miskin
4. Ingatlah lapang sebelum sempit
5. Ingatlah hidup sebelum mati

Hidup bahagia itu bisa dicapai jika hati kita terlepas dari gundah gulana, tidak ada kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan untuk menghadapi hidup ini. Dengan hati yang tenang, maka segala persoalan hidup akan bisa diatasi karena hati yang tenang akan membuat pikiran kita lebih jernih dalam memandang segala persoalan yang ada dalam hidup ini.

Bagi masyarakat Kejawen, untuk membuat hati menjadi tenang, maka langkah utama yang harus dilakukan adalah menyalakan "lampu" dalam hati kita yang gelap. Dengan begitu, maka hati kita menjadi terang benderang. Bagaimana untuk mendapatkan hati yang terang benderang? Orang Jawa yang berpaham Kejawen memiliki kiat tersendiri. Kiat itu adalah dengan jalan bertapa.

Kata-kata bertapa yang dikenal oleh masyarakat Kejawen bukan berarti menyendiri di hutan ataupun di gunung, tetapi bisa saja bertapa itu dilakukan di perkotaan ataupun tempat ramai. Contohnya, ada tapa ngrame, dimana si pelaku tapa tidak boleh masuk ke dalam rumah atau tempat-tempat yang dinaungi atap untuk beberapa hari dan harus selalu mencari keramaian. Tentu saja hal itu dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH.

Tapa Lelono

Salah satu cara bertapa yang dilakukan oleh masyarakat Kejawen adalah tapa lelono. Apa itu tapa lelono? Tapa lelono adalah bertapa dengan cara berjalan kaki. Lelaku jalan kaki tersebut lebih afdhal-nya dilakukan dari jam 12 malam sampai jam 3/subuh. Hakekat dari cara lelaku ini adalah untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. Lho kok bisa mendekatkan diri dengan jalan kaki? Jika cara berjalan kaki itu hendaknya diniatkan untuk mencari "lampu" hati sehingga bisa dengan mudah mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH

Pada saat berjalan kaki itu, kita berbicara sendiri dengan diri kita. Dan pada saat berjalan tersebut dipergunakan sebagai waktu untuk introspeksi diri. Jadi berjalan kaki yang kita lakukan tidak sia-si

Istana GUSTI ALLAH di Tubuh Anak Adam

 


Dalam tubuh setiap manusia itu terdapat istana-istana GUSTI ALLAH. Kita harus memahami keberadaan istana-istana tersebut agar kita menjadi manungso sejati (manusia yang sejati). Dimana sajakah istana-istana dari GUSTI ALLAH yang terdapat dalam tubuh kita?

Istana dari GUSTI ALLAH itu ada di tiga lokasi dalam tubuh kita. Ketiga lokasi tersebut adalah:





1. Lokasi Pertama di Baitul Makmur
Penjelasannya adalah sebagai berikut: AKU mengatur singgasana dalam Baitul Makmur. Itulah tempat kesenangan-KU. Tempatnya ada di kepala anak Adam. Dalam kepala anak Adam terdapat dimak yaitu otak. Diantara dimak/otak itu terdapat manik. Di dalam manik itu terdapat premana atau pranawa. Di dalam pranawa terdapat sukma. Dalam sukma ada rahsa. Dalam rahsa ada AKU. Tidak ada GUSTI ALLAH, selain AKU.

2. Lokasi Kedua di Baitul Muharram
Penjelasannya adalah sebagai berikut: AKU menata singgasana dalam Baitul Muharram. Itulah tempat Kesukaan-KU. Tempatnya ada di dada anak Adam. Dalam dada itu ada hati, yang berada diantara hati itu ada jantung. Dalam jantung ada budi. Dalam Budi ada jinem. Dalam Jinem ada sukma. Dalam sukma ada Rahsa. Dalam Rahsa ada AKU. Tidak ada GUSTI ALLAH, selain AKU.

3. Lokasi Ketiga di Baitul Mukadas
Penjelasannya adalah sebagai berikut: AKU mengatur singgasana dalam Baitul Mukadas. Itulah tempat yang AKU sucikan dan berada pada kemaluan Anak Adam. Dalam kemaluan laki-laki itu ada pelir. Dalam pelir ada nutfah yakni mani, dalam mani ada madi. Dalam madi ada manikem. Dalam manikem terdapat rahsa. Dalam rahsa itu ada AKU. Tidak ada GUSTI ALLAH, selain AKU.

Dengan memahami keberadaan istana-istana itu, setidaknya kita bisa lebih meningkatkan tapa brata dan lelaku guna bisa lebih mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH.

MELIHAT AURA DIRI

Ini ada sedikit "cara" agar kita bisa melihat aura diri atau orang lain dan juga berfungsi untuk menajamkan mata bathin serta kekuatan pikiran. ( Lintas Agama )
Caranya :


Siapkan sebatang lilin, lalu nyalakan diruangan gelap ( dalam kamar asal jgn dikamar mandi bro :p )
Posisi lilin sejajar dgn mata. ( Duduk bersila ).
Awal "latihan"...tarik nafas sambil baca doa memohon kpd Yang Kuasa 3X...kemudian tahan nafas lalu keluarkan perlahan. ( Metode pernafasan piramida ).
Konsentrasi penuh dan slalu memohon pada Yang KUasa. Tataplah nyala lilin tsb yang berwarna biru (ditengah / ujung sumbu lilin ). Tatap terus dan jangan berkedip semaksimalnya. Untuk Tahap Awal lakukanlah selama 30 menit. Diusahakan mata jangan sampai berkedip. Perlahan dan pasti anda akan melihat perubahan warna dililin tsb. Lakukan terus menerus. Dan diakhiri dgn doa memohon kepda Yang Kuasa sambil tangan dibasuh kewajah sebanyak 3 kali.
Ingat konsentrasi dan keyakinan penuh. Bila anda sudah berhasil melihat minimal 5 warna dari 7 warna yang ada, mudah2an anda sudah bisa melihat aura sendiri atau org laen.

SANGKAN PARANING DUMADI


Dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang
berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi". Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.


Manusia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya.

Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan.


Kawruhana sejatining urip/
(ketahuilah sejatinya hidup)
urip ana jroning alam donya/
(hidup di dalam alam dunia)
bebasane mampir ngombe/
(ibarat perumpamaan mampir minum)
umpama manuk mabur/
(ibarat burung terbang)
lunga saka kurungan neki/
(pergi dari kurungannya)
pundi pencokan benjang/
(dimana hinggapnya besok)
awja kongsi kaleru/
(jangan sampai keliru)
umpama lunga sesanja/
(umpama orang pergi bertandang)
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih/
(saling bertandang, yang pasti bakal pulang)
mulih mula mulanya
(pulang ke asal mulanya)

Kemanakah kita bakal 'pulang'?
Kemanakah setelah kita 'mampir ngombe' di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari 'kurungan' (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.

Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang
langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya seperti ini:

"Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip,
akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang
kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya."
("Terbalik pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak mau meninggalkan alam dunia")

Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah:
Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?

Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:
"Sanyatane, donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan." (Kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya surga dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali ataupun bajingan")

Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.

Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
"Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati". (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang
sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?

Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
"Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip."

(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).

Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula.