Senin, 20 Juli 2015

dimana kamu berada

MELEPAS PRASANGKA DIRI
SEBAGAI TOKOH UTAMA
Spiritualitas itu bukanlah suatu perjalanan yang penuh drama dan menarik untuk diceritakan, yang menggambarkan titik gelap dalam hidup lalu menemukan titik terang.
Spiritualitas itu sesuatu yang sangat biasa, hal wajar dan sangat lumrah. Bahkan spiritualitas itu 'nothing special'.
Spiritualitas itu pada dasarnya adalah tentang kembali pada kesederhanaan hidup. Kesederhanaan dalam arti sekedar upaya pelepasan akan prasangka diri sebagai tokoh utama.


\



      
TENTANG
MENGOLAH RASA (OLAH ROSO) &
MENGOLAH BUDI (OLAH BUDI)
M: Guru, mengapa aku sulit menjalani hidup dengan ketulusan?
G: Ketulusan itu sulit bagi yang tidak punya rasa (roso). Bagi yang punya rasa, ketulusan itu justru memudahkan dan meringankan beban.
M: Apa itu rasa, Guru?
G: Rasa itu kepekaan bathin. Jika seseorang bisa merasakan penderitaan, maka dia akan mengendurkan penderitaan. Inilah yang membuat mengolah rasa dapat menjaga ketenteraman bathin.
M: Bagaimana dengan orang yang terlalu peka sehingga banyak hal selalu dipikirkan dan menyakiti hatinya?
G: Itu adalah kepekaan yang disertai kegelapan bathin, Anakku.
M: Apa yang membedakan antara kepekaan yang membawa kedamaian dengan kepekaan yang membawa penderitaan?
G: Kepekaan yang mendamaikan adalah yang disertai pengembangan budi. Mengolah rasa yang baik mesti menyertakan mengolah budi (olah budi).
M: Lalu, apa itu budi?
G: Budi adalah pengertian, Anakku. Mengolah rasa jika melibatkan pengertian maka kepekaan itu menjadi penerimaan dan penerimaan itu melegakan. Bathin yang lega (legowo=lego ing nyowo), itulah kebahagiaan


dan kedamaian.

BATHIN YANG TENTERAM
M: Apa itu hidup yang damai dan tenteram?
G: Hidup yang damai dan tenteram itu dicirikan dengan keadaan bathin yang tidak benci tapi juga tidak serakah.

TUBUH YANG JUJUR & BATHIN YANG TIDAK JUJUR

Tubuh itu selalu jujur. Lihatlah ketika mengalami ketidaknyamanan, tubuh menjadi tegang. Tubuh memiliki respon alami, memberi sinyal, memberi tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Berbeda dengan bathin. Bathin yang belum terlatih tidaklah jujur. Dia menyangkal keadaan, bahkan menganggapnya menyenangkan. Lihatlah ketika menyakiti orang lain. Atau ketika mencibir orang lain. Itu adalah ketegangan bathin yang dianggap sebagai kesenangan, bukan ketegangan lagi.
Orang yang tidak jujur itu juga tidak peka. Jika orang tidak bisa memahami ketegangan dan kesenangan adalah hal yang sama, maka dia akan mati rasa dan tidak mengindahkan sinyal tubuh.
Mengolah bathin itu diawali dengan menyadari (eling) keberadaan tubuh. Mengembangkan kepekaan akan keadaan tubuhnya lalu keadaan bathinnya.


 Jika kita hidupnya apa adanya, tidak dibuat-buat, tidak juga berusaha agar terlihat/nampak lebih unggul dibandingkan orang lain, entah dalam hal kekayaan, penampilan, atau juga kepandaian, janganlah khawatir diri kita akan terlihat bodoh dan serba kekurangan. Sesungguhnya, dalam kesederhanaan kita justru belajar untuk menerima keadaan diri kita. Ketenangan dan kedamaian dimulai dengan kesederhanaan ini. Tidaklah mungkin gaya hidup yang berlebihan akan menjadikan hidup kita lebih damai dan tenteram.



SEKUTU ATAU PESAING
Memikirkan diri (ego) agar lebih hebat, lebih sukses, lebih berwibawa, lebih ini dan itu dari pada orang lain, maka kita akan sulit untuk berempati dan penuh kebaikan pada orang lain. Selama ego masih menjadi pusat perhatian, maka hubungan dengan orang lain hanya ada dua, yaitu sekutu atau pesaing. Sekutu adalah yang bisa menopang/mendukung ego. Pesaing adalah yang menghalangi ego.
 

 Perilaku yang sengaja dibuat-buat agar berkesan dihadapan orang lain, itu justru menunjukkan bahwa betapa hidupnya penuh kegelisahan dan ketakutan. Semakin pembicaraannya melebihi orang lain, itu justru menunjukkan bahwa dirinya yang lebih butuh berbicara, bukan orang lain yang butuh informasi apa yang telah dikatakannya.


Reaksi yang emosional itu selalu merupakan reaksi pada persepsi tertentu. Artinya obyek dari reaksi adalah persepsi tentang obyek, bukan obyek apa adanya.
Kebencian & kemarahan tersulut karena permainan persepsi. Di sekitar kita banyak yg mengkondisikan kita melalui persepsi2 tertentu. Mudah sekali terjerumus pada persepsi yang membuat kita berreaksi terhadapnya. Mengenali keadaan apa adanya itu melampaui batas persepsi. Pengenalan diri itu juga mesti melampaui batas persepsi. Termasuk persepsi yg dibentuk oleh belief system. Melepas belenggu kemelekatan adalah melepas belenggu persepsi.


Dalam agama atau tradisi tentu di dalamnya tentu ada humanisme. Humanisme itu universal. Namun harus diingat, tradisi agama itu ada / dibuat pd zaman dulu, pd waktu struktur masyarakat belum sekompleks sekarang. Jadi tingkah laku/perbuatan baik mesti dibawa dalam konteks kekinian. Dalam hal ini humanisme yang muncul pd zaman modern justru bisa menjadi 'sparing partner' utk berdialog. Humanisme dan agama bisa saling melengkapi dan membuat spiritualitas menjadi berwarna, bahkan melampaui bentuknya dan menjadi bentuk yang baru.
Dalam buku 'Sebelum segalanya terlambat' karya Aurelio Peccei & Daisaku Ikeda, dijelaskan / disinggung ttg spiritualitas yang memperhatikan sisi kemanusiaan termasuk lingkungan. Dalam buku itu disinggung bahwa perkembangan teknologi & pertumbuhan ekonomi dibangun dg memperhatikan sisi lahiriah dan mengabaikan hal2 mendasar yaitu dorongan setiap tindakan.


KEINDAHAN YANG DI DALAM
Kehidupan orang lain mungkin nampak begitu berwarna dan begitu indahnya. Tapi percayalah, dibalik warna itu ada dunia yang sama & tidaklah berbeda yang juga sedang kau alami.
Keindahan luar itu hanya sudut pandang saja. Seperti seorang model yang nampak indah dan begitu artistik oleh karena kepandaian Sang Fotografer. Keindahan seperti itu selalu ada bagian jelek yang disembunyikan.
Jika kau mengerti, maka kau tidak akan lagi banyak menghabiskan waktu pada keindahan yang diluar itu. Keindahan yang didalam, itulah yang paling sejati. Tiada seorang fotografer pun yang mampu menangkap keindahan yang di dalam itu.
 
ZEN CORNER:
SIMPLE WISDOM
Hidup itu tidaklah linier, tidak berupa perjalanan yang lurus menuju ke suatu tempat lalu selesai dan tercapailah tujuan.
Sering diilustrasikan seperti lingkaran yang tak terputus. Selalu berulang. Bangun pagi, mandi, sarapan, pergi bekerja, lalu pulang kerja, tidur, dan seterusnya. Tidak linier melainkan berulang. Demikian juga dalam retret, bangun pagi, meditasi pagi, siang, malam, lalu tidur dan seterusnya.
Dalam siklus berulang, tidak ada upaya yang berakhir tapi berulang. Kebahagiaan dan kedamaian bukan diujung perjalanan, tapi di setiap langkah perjalanan. Metodenya adalah justru dengan melepas adanya asumsi/anggapan bahwa kebahagiaan itu diujung perjalanan.
Ilustrasi lingkaran dalam kaligrafi Zen mengingatkan agar melepas asumsi linier ini. Dalam kedamaian dan kebahagiaan, tidak ada upaya pencapaian. Inilah simple wisdom. Menjaga bathin tetap sederhana (simple), tidak terusik pada kompleksitas. Siklus berulang berarti memang tidak pernah berujung. Pengakuan diri akan siklus tak berujung, maka bathin akan melepas.
Dalam tradisi India, siklus ini disebut samsara. Dalam Jawa di sebut cokro manggilingan, roda yang selalu berputar. Dalam memahami ilustrasi Zen ini, kita akan paham bahwa itu semua tentang psikologi diri. Saya menyebutnya psikologi samsara.

MASIH TENTANG KETULUSAN
Seringkali orang berharap kebahagiaan. Kadang tidak melakukan apa-apa tapi ingin bahagia. Atau berusaha melakukan perbuatan baik lalu kelak mendapat upah kebahagiaan. Namun sesungguhnya kebahagiaan itu bukanlah upah. Kebahagiaan itu adalah apa yang kita lakukan. Jika apa yang diperbuat menyertakan ketulusan, maka itulah kebahagiaan.

DUA TAHAPAN BERSYUKUR
Bersyukur ada dua jenis. Masing-masing memiliki pengertian dan pendekatan yang berbeda.
Pertama, bersyukur pada kekuatan ilahi atas apapun yang dialami. Kekuatan ilahi ini bisa dipahami berasal dari Tuhan, Dewa, atau sosok ilahi tertentu, yang mengatur kehidupan. Bersyukur pada jenis ini memposisikan diri sebagai obyek. Apa yang dialami dianggap sebagai hadiah atau hukuman dari kekuatan ilahi.
Kedua, adalah bersyukur atas keadaan apa adanya. Bersyukur pada jenis ini memposisikan diri sebagai subyek. Karena pengertian seperti ini maka lebih sering digunakan kata 'melepas' dari pada 'bersyukur' itu sendiri. Apa yang dialami dianggap sebagai konsekuensi logis dari pikiran, ucapan dan perbuatannya yang pernah dilakukan. Tidak ada hadiah atau hukuman, yang ada hanya konsekuensi.
Umumnya, orang memahami dua pendekatan di atas bertentangan. Dianggap dua hal yang bukan searah. Belakangan saya memahaminya justru searah. Searah dalam arti, dua hal tersebut merupakan tahapan.
Tahapan pertama adalah memakai bahasa mitologis. Kekuatan ilahi yang dipersonifikasi dalam wujud tertentu, itu adalah tentang kekuatan alam, hukum alam, atau sifat dari alam itu sendiri.
Mitologi dibutuhkan bagi mereka yang belum siap berlatih kesadaran. Mereka cenderung memahami mitologi secara hurufiah dan belum bisa menangkap makna simbolik dibaliknya. Akibatnya kebahagiaan dianggap hal luar yang suatu saat akan diterimanya. Bagi mereka yang sudah siap, maka mereka akan memasuki tahapan berikutnya.
Pada tahap berikutnya yang semula diri hanya menjadi obyek akan berubah menjadi subyek. Inilah transformasi diri. Hidupnya tidak lagi mengejar hadiah dan menolak/menghindari hukuman. Hadiah dan hukuman, adalah simbol keadaan yang selalu naik dan turun. Naik turunnya kehidupan seperti ini adalah hal yang alami karena itu harus diterima apa adanya. Melepas kemelekatan adalah jalan menuju kedamaian, kebahagiaan dan ketenangan. Kebahagiaan itu dari dalam, diwujudkan lewat kebijaksanaan.



 


ARTI SIMBOLIK
AVALOKITESVARA & MANJUSRI
(Kasih sayang & Kebijaksanaan)
Dari mana muncul kebaikan dan kasih sayang?
Ketika orang bekerja untuk mencapai sesuatu, tentu ada ketegangan yang terlibat. Sungguhlah wajar. Namun jika ketegangan ini berkelanjutan dan menjadi tak terkendali, maka kita akan menderita. Ketegangan inilah yang membentuk karakter diri yang sempit dan hanya mau memikirkan diri sendiri.
Umumnya ketegangan dialihkan dengan aktivitas populer entah dengan tujuan bersenang-senang, refreshing atau sekedar mengisi waktu.
Namun ada satu kebutuhan mendasar ketika mengalami ketegangan, yaitu pelepasan. Pelepasan adalah kelegaan, kelapangan dada untuk menjalani proses kehidupan tanpa terbebani oleh masa lalu atau juga masa depan yang diharapkan datang.
Melepas ketegangan berbeda dengan bersenang-senang. Melepas itu membutuhkan mawas diri. Mawas diri yang diarahkan pada pengertian. Pengertian inilah yang membuat ketegangan mencair dan itu ditandai dengan semakin hangatnya kebaikan hati.
Lalu, apa itu kasih sayang?
Kasih sayang adalah bentuk ekspresi dari kebaikan hati. Kebaikan dan kasih sayang dibangun oleh dasar yang sama yaitu pengertian.
Pengertian ini disebut juga sebagai kebijaksanaan. Dilambangkan dalam sosok Manjusri yang membawa pedang kebijaksanaan. Pedang ini mampu memotong delusi atau ketidaktahuan. Sebenarnya tidak ada orang yang jahat, yang ada hanya orang yang menderita. Hidupnya terlalu banyak didera oleh ketegangan bathin, dan itu disebabkan oleh ketidaktahuan. Pengertian akan hidup perlu ditumbuhkan agar hangatnya kebaikan hadir kembali dan menjadi penuntun hidup.
Bentuk ekspresi dari kebaikan yaitu kasih sayang, itu disimbolkan dalam sosok Avalokitesvara. Kasih sayang bersifat aktif, bertindak dalam perbuatan dengan dasar cinta kasih.
Ada pararelisme dengan tradisi Jawa seperti ungkapan 'sepi ing pamrih, rame ing gawe'. Sepi ing pamrih adalah tentang pelepasan yang didasari oleh pengertian. Pengertianlah yang membuat ketulusan muncul. Sedangkan rame ing gawe adalah perbuatan yang aktif, melakukan hal terbaik demi orang lain. Ini adalah kasih sayang.


 
APA ITU KESABARAN?
Semakin besar ego kita, maka semakin sulit kita hidup damai dan tenteram. Karena semakin besar ego kita, maka kita semakin mudah tersakiti oleh keadaan.
Terutama ketika kita berhadapan dengan orang yang tidak kita sukai. Pada saat itu kita bisa menguji diri kita sendiri. Seperti apakah ego kita. Sejauh mana tingkat kesabaran kita.
Kesabaran itu ada dua macam. Yang pertama, Kesabaran luarnya saja. Ini adalah kesabaran yang hanya bertahan saja, karena didalamnya ego masih bertahan bahkan mungkin semakin besar. Kesabaran seperti ini sangat menderita.
Yang kedua, adalah kesabaran dari dalam. Disebut dari dalam karena diiringi mengurangi ego. Melepas kemelekatan menjadi bagian dari latihan kesabaran. Inilah kesabaran yang melibatkan kedamaian dan ketenangan


KESEMPURNAAN KASIH SAYANG
(MAHA KARUNA)
Ajaran Dharma sering diungkapkan dalam kisah / legenda. Kasih sayang yang sempurna sering disebut sebagai maha karuna.
Salah satu ikon yang sering digunakan adalah Bodhisatva Avalokitesvara. Dalam budaya tionghoa lebih dikenal sebagai Dewi Kuan Im. Avalokitesvara di India dan di nusantara diwujudkan dalam sosok laki-laki.
Kisahnya, Avalokitesvara akan mencapai nirvana. Dalam perjalanan, beliau melihat orang tua yang dikejar harimau. Orangtua tersebut akhirnya memanjat pohon dan untuk sementara terhindar dari kejaran harimau. Namun harimau lapar itu menunggu orang tersebut dibawah.
Avalokitesvara menuju kediaman Sang Buddha dan sudah tiba saatnya Avalokitesvara mencapai nirvana. Namun beliau teringat dengan keadaan orang tua yang akan dimangsa harimau. Avalokitesvara memutuskan untuk kembali pada dunia untuk menolong orang tua tersebut. Beliau juga berjanji untuk kembali ke dunia demi menolong semua mahkluk bebas dari penderitaan dan 'menunda' mencapai nirvana.
Nirvana itu adalah kebebasan atau bebas dari penderitaan. Ketika tidak mengejar nirvana, itu sebenarnya nirvana juga. Keinginan mencapai kebahagiaan justru akar masalah utama yang menyebabkan penderitaan. Melepas kebahagiaan maka kebahagiaan akan terwujud dengan sendirinya.
Kisah/legenda bodhisatva Avalokitesvara adalah penekanan bahwa nirvana bukanlah obyek keinginan. Selain itu, ini juga tentang kesempurnaan kasih sayang. Kasih sayang yang tanpa syarat membuat ego tidak ada tempat. Hilangnya ego berarti lenyapnya nafsu keinginan. Kasih sayang yang sempurna, itu juga salah satu dimensi dari nirvana.
Dalam bahasa modern, kasih sayang ini disebut sebagai kasih sayang altruistik. Altruistik maksudnya totalitas dalam mendedikasikan diri pada kebahagiaan mahkluk lain. Tidak terkecuali. Jadi tidak ada kebahagiaan dalam kebencian, tak terkecuali atas nama kejayaan agama. Kejayaan sejati hanya dilihat pada seberapa besar dalam melepaskan ego.
Metode latihan altruistik adalah salah satu latihan dasar dalam mahayana. Menurut sejarah Tibet, salah satu guru besar bernama Atisha pernah berguru ajaran ini di nusantara, tepatnya di Sriwijaya pada guru Serlingpa Dharmakirti.
Dalam vajrayana, latihan tantra tanpa dasar motivasi altruistik adalah sia-sia. Tumbuhnya semangat altruistiklah yang akan membawa pada kebijaksanaan tertinggi.


 

 
SIMBOL SUN GO KONG
Pada abad ke-6, Hsuan Tsang pergi ke India melalui jalan darat. Hidupnya didedikasikan utk membawa kitab dari India. Setelah kembali di Cina, beliau disambut oleh raja dinasti Tang. Hsuan Tsang banyak menghabiskan waktu utk menerjemahkan kitab tsb dlm bahasa Cina. Aliran filsafat yang lagi terkenal di India saat itu adalah yogacara. Dalam bahasa Inggris di terjemahkan sbg mind-only school. Aliran filsafat ini memahami bahwa segalanya adalah pikiran. Realita sejati bukan di luar sana tapi di dalam. Realita sejati yang tertutupi oleh bathin yang ilusif.
Pada zaman dinasti Ming (1368-1582), terkenal sastra berjudul "Xi-yu-chi" (Catatan Perjalanan ke Barat). Penulis sastra ini adalah Wu Ch'eng-en (1500 - 1582), seorang penulis novel dan puisi terkenal pada Dinasti Ming. Wu Ch'eng-en menuliskannya setelah terinspirasi cerita perjalanan Hsuan-tsang dari bukunya Ta-T'ang Hsi-yu-chi. Kisah cerita ini kemudian menjadi terkenal dengan legenda Kera Sakti Sun Wu-khung (Sun Go Kong atau Sun Hou-zi). Novel ini diterbitkan pertama kali pada 1592, 10 tahun setelah kematian Wu Ch'eng-en.
Aksara 'Barat' (Xi/Hsi) mirip lafal Xin/ Hsin yang berarti hati. Perjalanan ke Barat adalah simbol perjalanan ke dalam bathin.
Dari video klip singkat ini ada adegan Sun Go Kong yang masuk ke telapak tangan kanan Sang Buddha. Sun Go kong berusaha keluar dari tangan namun tidak bisa. Wu Cheng-En pandai sekali memainkan simbol aliran filsafat yogacara. Lima jari dalam tangan Buddha adalah nafsu pd lima indria yang didorong oleh pikiran yang penuh nafsu. Sun Go Kong adalah lambang pikiran yang liar. Dalam Zen juga ada istilah 'monkey mind'. Pikiran yang terperangkap oleh nafsu tidak akan pernah bebas.
Sun Go Kong di kurung dalam bukit lima jari. Artinya lima indria nya dikurung. Ini ttg tahap mengolah bathin. Ada saatnya ketika indria tenang, kebijaksanaan muncul. Hadirnya sosok Hsuan Tsang (Tong Sam Cong) adalah simbol kebijaksanaan yang akan hadir scr alami ketika indria tenang.
Filsafat seperti ini sebenarnya ada di Jawa. Karena di Jawa dulu juga populer ajaran yogacara sebagaimana yg termonumenkan pd candi borobudur. Neng-Ning-Nung. Meneng. Indria mesti diam dulu. Maka bathin akan Ning alias wening. Dari situ akan Nung alias Dhunung. Dhunung dalam hal ini adalah pemahaman/pengertian/kebijaksanaan.
Hsuan Tsang ke India belajar/studi di universitas Nalanda, pusat agama Buddha internasional ternama pd zaman itu. Dan salah satu donatur Nalanda adalah raja Sriwijaya. Sehingga jejak ajaran yogacara juga masuk di Jawa melalui Sumatera. Dan karakteristik tradisi Jawa dipengaruhi oleh ajaran ini.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar